Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang dilalui dua jalur pegunungan muda dunia, yaitu Pegunungan Mediterania di sebelah barat dan Pegunungan Sirkum Pasifik di sebelah timur. Hal tersebut mengakibatkan Indonesia memiliki banyak pegunungan aktif maupun tidak aktif. Indonesia memiliki 13% dari jumlah gunung api di dunia, yaitu sebanyak 129 gunung dengan status aktif serta gunung tidak aktif sebanyak 500 gunung (Gosal dkk., 2018). Secara geologis, Indonesia terletak pada tiga pertemuan lempeng, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Faktor-faktor tersebut memili dampak positif dan negatifnya masing-masing. Keberadaan gunung-gunung tersebut mengakibatkan Indonesia memiliki banyak keberagaman hayati. Meski demikian, tetap dampak negatif yang ditimbulkan yakni banyaknya kawasan yang rawan terjadi bencana seperti gunung Meletus dan tanah longsor. Begitu pula keberadaan Gunung Merapi-Merbabu yang memberikan dampak positif dan negatif bagi masyarakat sekitar, khusunya masyarakat Kecamatan Selo.
Kecamatan Selo merupakan wilayah yang terletak di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Daerah ini berada dikawasan Lereng Gunung Merbabu dengan topografi yang unik. Kecamatan Selo memiliki potensi besar dalam sektor pariwisata alam dan pertanian. Pemandangan alam yang asri dapat menarik minat wisatawan sehingga menjadi potensi pengembangan wisata alam di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Tanah yang subur pada Kawasan Selo mengakibatkan banyak masyarakat hidup dengan menjadi petani. Kecamatan Selo juga merupakan Kawasan dengan curah hujan yang cukup tinggi. Pada Januari tahun 2020, curah hujan bulanan di Kecamatan Selo mencapai 435 mm3.
Topografi pegunungan dengan kemiringan lereng yang curam, ditambah dengan intensitas curah hujan yang tinggi, mengakibatkan kawasan ini rentan terhadap longsor, terutama di musim hujan. Hal tersebut sesuai dengan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali yang mencatat bahwa terdapat 9 kejadian Longsor di Kecamtan Selo pada tahun 2020. Berdasarkan IRB (Indeks Risiko Bencana) Tanah Longsor yang dikeluarkan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) pada tahun 2023, Kabupaten Boyolali menempati urutan 18 dengan indeks 110.06. Longsor tersebut mampu menyebabkan kerusakan infrastruktur, lahan pertanian, dan kadang-kadang menelan korban jiwa. Selain kerugian material, longsor juga menimbulkan dampak sosial, seperti terputusnya akses jalan dan gangguan ekonomi masyarakat yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya mitigasi bencana yang tepat untuk meningkatkan rasa nyaman bagi masyarakat petani di Kecamatan Selo. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengunakan informasi geospasial melalui pemetaan risiko longsor berupa Early Warning System berbasis geospasial.
Isi
Kecamatan Selo yang merupakan kawasan yang berada diantara kaki Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, Hal tersebut menyebabkan Kecamatan Selo memiliki tanah yang subur dan kaya akan hasil pertanian. Kesuburan tanah adalah kemampuan tanah menyediakan unsur hara dalam jumlah dan proporsi yang seimbang untuk pertumbuhan tanaman (Buckman and Brady 1982). Berbeda halnya dengan pertanian yang ada pada dataran rendah, masyarakat lokal di Kecamtan Selo sudah turun-temurun melakukan pertanian lahan miring dengan sistem bedengan vertikal. Pada dasarnya pola pertanian tersebut juga menjadi faktor yang meningkatkan potensi tanah longsor di Kecamatan Selo. Pola pertanian tersebut mampu mengakibatkan tanah ikut terbawa kebawah saat terjadi hujan deras dan menyebabkan tanah longsor. Hal tersebut tentu memberikan kerugian, misalnya petani yang dirugikan karena gagal panen. Suatu peristiwa dikatakan bencana apabila berdampak kepada masyarakat (Twigg, 2013).
Pada sisi lain, sektor pariwisata di Kecamatan Selo semakin mengalami pengingkatan dari tahun ketahaun. Berbagai wisata alam tersebut ditunjang dengan adanya akomodasi berupa homestay yang dikelola oleh masyarakat setempat untuk dapat menikmati keindahan di Kecamatan Selo. Akan tetapi, pembangunan homestay tersebut dilakukan tanpa memperdulikan dampak kelanjutannya. Padahal, berdasarkan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dijelaskan bahwa pembangunan infrastruktur harus tetap mejaga kualitas lingkungan. Masyarakat lokal cenderung mengeksploitasi berbagai lahan untuk dijadikan homestay tanpa memikirkan standar keamanan bangunan tersebut. Hal tersebut tidak lepas dari kultur masyarakat lokal yang merasa paling memahami wilayah mereka. Warga lokal cenderung mengabaikan resiko bencana karena telah lahir dan hidup dalam kondisi tersebut.
Dalam hal ini, Early Warning System (EWS) dapat dikembangkan untuk memberikan peringatan kepada masyarakat jika kondisi cuaca atau aktivitas geologis menunjukkan peningkatan risiko longsor. Early Warning System (EWS) diterapkan dari serangkaian proses mulai dari pemetaan hingga monitoring. Pemetaan dilakukan dengan overlay dari parameter terjadinya longsor seperti curah hujan, jenis tanah, batuan, dan penggunaan lahan. Hasil pemetaan yang telah dilakukan dari berbagai indikator dapat dijadikan dasar untuk penetuan area yang memiliki potensi paling besar atau berisiko. Hasil pemetaan menunjukkan area mana saja yang tidak bisa dilakukan pembangunan ataupun tidak bisa ditanami tanaman, misalnya karena kekuatan daya tanah yang sangat minim. Dalam hal ini, pemerintah dan aparat harus ikut berperan dengan memberikan upaya represif agar masyarakat mau mengimplementasikan konservasi lingkungan yang adaptif di Kecamatan Selo.
Secara sistematis alur pelaksanaan yang dapat dilakukan dapat dilihat pada skema dibawah:
Gambar 1: Alur Pelaksanaan Pemetaan Risiko Longsor di Kecamatan Selo
Penutup
Pemetaan risiko longsor sebagai Early Warning System (EWS) yang dilakukan merupakan langkah nyata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Selo. Pemetaan risiko longsor memungkinkan petani untuk melakukan penyesuaian dalam pengelolaan lahan, seperti memilih lokasi penanaman yang lebih aman atau melakukan konservasi tanah yang tepat. Melalui hasil pemetaan masyarakat dan pemerintah dapat melakukan tindakan preventif, seperti reboisasi atau pembuatan terasering, untuk mencegah erosi dan degradasi lahan. Hal ini tidak hanya mengurangi risiko longsor tetapi juga memperbaiki kualitas tanah yang mampu menjaga keberlanjutan lingkungan untuk generasi mendatang serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam jangka panjang.
Referensi:
Gosal, L. C., Tarore, R. C., & Karongkong, H. H. (2018). Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Bencana Gunung Api Lokon Di Kota Tomohon. SPASIAL, 5(2), 229-237.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali Tahun 2020. Badan Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2023.
Twigg, J. (2013). Disaster Risk Reduction. Encyclopedia of Crisis Management, 44(0). Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Buckman, Harry Oliver, and Nyle C. Brady. (1982). Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara.
Dibuat Oleh: Nurlita (Pemenang Kompetisi Artikel SONAR 8.0)
Program Studi: Kartografi dan Penginderaan Jauh Angkatan 2023