Green Urban World: Revitalisasi Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah dalam Membentuk Urbanitas dan Ruang Kota Berkelanjutan

Kecamatan Selo adalah salah satu wilayah di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah yang terletak di antara dua gunung berapi terkenal, yaitu Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Kecamatan Selo terkenal sebagai daerah sejuk dengan panorama alam pegunungan yang memukau sehingga dapat dijadikan destinasi favorit bagi para pencinta alam. Selo juga terkenal sebagai basecamp para pendaki Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Selo memiliki potensi pertanian tinggi karena tanah yang subur bekas vulkan sehingga perekonomian tani menjadi pondasi ekonomi Kecamatan Selo. Selain pertanian, penduduk Selo menggantungkan hidup pada hortikulturan seperti sayuran, buah-buahan, dan perkebunan. Sektor Pariwisata juga berkembang pesat dengan berbagai objek wisata alam yang bervariasi. Dengan kekayaan alam yang luar biasa dan potensi ekonomi yang dapat dikembangkan, Selo semakin menjadi pusat perhatian di tengah pesona pegunungan Jawa Tengah.

Kecamatan Selo memiliki potensi seperti salah satu negara di Eropa timur, yaitu negara Liechtensein. Negara Liechtenstein merupakan negara yang terletak di Benua Eropa yang merupakan wilayah Kerajaan dengan luas kurang lebih 160 kilometer persegi yang terhimpit oleh dataran tinggi di sekelilingnya. Negara Liechtenstein terletak di antara negara Austria dan Swiss. Sebagai sebuah negara pegunungan, Liechtenstein mengandalkan sektor pariwisata dengan pemandangan indah. Sungai Rhine membentuk perbatasan barat Liechtenstein dengan lereng gunung cocok untuk olahraga musim dingin. Berbeda dengan negara yang memiliki perekonomian lebih besar, dampak sosisal-sekonomi dari kenaikan nilai tanah di Liechtenstein relatif tidak berbahaya. Kebijakan luar negeri, institusi domestik, dan perusahaan swasta menunjang keberhasilan ekonomi di negara ini. Walaupun negara tersebut berada di lereng gunung, proses urbanisasi yang terjadi sudah pesat sehingga perekonomian dapat terus maju.

Negara Liechtenstein menunjukkan bahwa sebuah negara dengan luas kecil dan berada di tekuk lereng memiliki potensi perekonomian yang pesat sehingga dapat menjadi keuntungan tersendiri. Indonesia juga memiliki potensi yang sama atau bahkan lebih untuk bisa menyaingi negara kecil seperti Liechtenstein. Indonesia memiliki kabupaten dan kecamatan yang beragam dan memiliki ciri khas sehingga dapat dimaksimalkan potensinya. Salah satu potensi yang dimiliki Indonesia adalah Kecamatan Selo.

Proses urbanisasi di Kecamatan Selo perlu dimaksimalkan. Proses pusat kota tanpa polusi dan memiliki ekosistem hijau perlu dipotensikan di mana Kecamatan Selo menjadi pusat Kabupaten Boyolali, selain Kota Boyolali. Proses tersebut sering disebut dengan konsep kota berkelanjutan. Kota berkelanjutan diusahakan agar mencapai proses urbanisasi yang damai dan pusat urban yang berkelanjutan. Kecamatan Selo didesain dan direvitalisasi agar perencanaan urban dan manajemen kota dapat memiliki pengaruh lebih baik untuk sosial masyarakat, lingkungan, dan juga perekonomian Kecamatan Selo itu sendiri. Banyak insiatif keberlangsungan yang dapat diinovasikan dari infrastruktur kota seperti pedestrian yang lebar serta ada jalur khusus pesepeda. Dengan infrastruktur terencana, ruang terbuka hijau, pengolahan sampah lebih lanjut, sebuah pusat urban akan memberi pengaruh baik untuk keberlanjutan dunia.

Sebelum mengenal lebih lanjut mengenai kota berkelanjutan, kota perlu didefinisikan terlebih dahulu. Kota merupakan wadah bagi banyak orang sebagai pusat kreativitas dan budaya serta melambangkan kemajuan sosial dan ekonomi (Ervianto, W. I., 2018). Urbanisasi yang tidak direncanakan dengan baik berpotensi menimbulkan berbagai prosalan di perkotaan sehingga urbanisasi perlu dipikirkan matang-matang terlebih dahulu. Dampak jangka panjang akibat urbanisasi adalah perluasan kawasan kumuh dan kesenjangan antar wilayah. Pada tingkat nasional Indonesia, pemerintah saat ini memprogramkan pembangunan dari pinggiran sesuai dengan poin ketiga dalam Nawacita dan dokumen RPJMN 2015-2019 yang disusun oleh Bappenas. Kebijakan desentralisasi asimetris ditetapkan oleh pemerintah sangat relevan dengan kondisi wilayah Indonesia dan membantu daerah-daerah dengan kapasitas berperintahan belum cukup memadai dalam memberikan pelayanan publik.

Namun, untuk membuat sebuah kota sendiri memerlukan proses cukup lama sehingga proses urbanisasi dapat berjalan maksimal. Langkah kecil untuk membuat kota sendiri adalah memaksimalkan potensi dari sebuah wilayah itu sendiri. Dalam kasus Selo sendiri, potensi dari Selo adalah pertanian dan pariwisata yang dimiliki oleh Selo. Potensi Selo dalam pertanian memiliki banyak jenis. Menurut peta RBI dari BIG sendiri, Selo setidaknya memiliki lahan budidaya vegetasi sebanyak tiga jenis, yaitu sawah, ladang, dan kebun, Produk – produk yang dihasilkan Selo sendiri bisanya berupa tanaman hortikultura, seperti buah-buahan dan sayuran. Untuk perkebunan sendiri, kebun yang dibudidayakan di Selo adalah perkebunan kopi. Sawah dari Selo sendiri kebanyakan merupakan sawah dari tumbuhan padi dengan perairan irigasi langsung dari Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Hal ini mengakibatkan perekonomian Selo dapat dilangsungkan dari perekonomian tani itu sendiri.

Gambar 1: Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Selo Tahun 2023

Salah satu kelebihan Selo daripada Liechtensein adalah tanah di Selo cenderung subur dan dapat dimaksimalkan lebih lanjut. Dalam prinsip kota berkelanjutan, sektor hortikulturan sebagai penunjang ekonomi di Selo perlu pendekatan yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan berorientasi pada kesejahteraan sosial serta ekonomi. Pertanian berkelanjutan merupakan salah satu opsi yang dapat digunakan untuk memaksimalkan sektor hortikultura yang dimiliki Selo. Pertanian di Selo harus mengurangi penggunaan bahan kimia dan lebih menggunakan pertanian organik dan pengelolaan hama terpadu (PHT). Rotasi tanaman dan diversifikasi hortikulturan membantu menjaga kesuburan tanah dan mencegah serangan hama secara berlebihan. Selain itu, pengelolaan air yang efisien dapat mengurangi konsumsi air dalam proses produksi hortikultura.

Pengelolaan limbah dari sektor hortikulturan Selo juga perlu berkelanjutan dengan limbah dari tanaman hortikulturan harus diolah menjadi kompos sehingga dapat memperbaiki kesuburan tanah secara alami. Limbah dari kegiatan hortikulturan juga dapat digunakan untuk menghasilkan energi hijau seperti biogas yang dapat digunakan oleh petani sebagai kebutuhan rumah tangga. Pelatihan petani juga diperlukan agar petani dapat mengelola sumber daya secara berkelanjutan. Proses akses dan transportani hasil tani tersebut juga harus dijembatani agar para petani dapat menghasilkan pendapatan secara mandiri dan mensejahterakan petani tersebut. Setidaknya di Selo perlu membangun industri pengolahan hasil hortikulturan yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk Selo itu sendiri, seperti jus, selai, atau manisan dari bua dan sayuran. Hal ini akan menyebabkan tambahnya nilai ekonomi dari produk hasil jadi daripada dijual sebagai produk mentah.

Setelah proses perekonomian dari Selo tersebut stabil atau bahkan produk hortikultura mengalami hasil surplus maka Selo dapat meningkatkan perekonomiannya sendiri. Faktor geografis dari Selo menjadi keuntungan, di mana Selo menjadi kecamatan penghubung antara Magelang dan Boyolali. Akses mudah air, lahan pertanian subur, dan kemudahan transportasi akan membantu suatu wilayah menjadi pusat perekonomian. Aksesbilitas merupakan kunci agar proses urbanisasi dapat berlangsung. Hal ini juga didukung di mana Magelang yang sudah mulai maju dan mengalami proses sub-urban perlu melonggarkan pemukiman ke daerah yang memiliki nilai jual tinggi yaitu Selo. Selain itu, konektivitas antara Magelang dan Boyolali akan dimudahkan jika Selo dapat membangun transportasi terpadu sehingga Selo dapat menjadi kota satelit di antara kedua kota tersebut.

Seiring dengan berkembangnya ekonomi dan adanya peluang kerja, migrasi penduduk dari daerah sekitar ke pusat-pusat ekonomi meningkat. Hal ini menyebabkan konsentrasi penduduk akan semakin pada di wilayah strategis. Layanan sosial budaya juga perlu ditingkatkan. Hal ini disebabkan kota juga menjadi pusat kegiatan budaya akan memperkuat daya tarik kota sebagai pusat populasi. Sistem perekonomian yang dapat digunakan ialan sistem investasi negeri. Hal ini didasari oleh sebuah pemerintahan Kecamatan Selo yang memberikan investasi ke lahan-lahan produktif dari wilayah Selo itu sendiri. Lahan-lahan produktif itu biasanya dimiliki oleh rakyat sendiri sehingga rakyat akan mendapatkan hasil lebih dari pemerintah. Dari perbankan dan keuangan hingga pariwisata dan hortikultura, atau bahkan industri hortikultura akan membuat perekonomian Selo semakin maju. Ekonomi baru ini dicirikan oleh penggunaan ruang fisik dan sumber daya alam yang sangat efisien dan relatif minimal.

Ukuran Selo yang kecil berarti bahwa hampir semua tanah berada dalam akses yang mudah ke peluang ekonomi baru dan infrastruktur utama yang membuatnya berharga, manfaat dari kenaikan nilai tanah dirasakan oleh sebagian besar, bahkan semua masyarakat. Di satu sisi, banyak orang dapat memperoleh keuntungan besar dari menjual atau menyewakan tanah mereka. Pemerintah juga dapat membangun akses publik dengan cepat dari hasil sewa tanah mereka. Penduduk juga tetap dikenai pajak sehingga antara pemerintah dan masyarakat saling menguntungkan. Nilai tanah yang meningkat dengan cepat “memikat para petani untuk menjual tanah mereka” dan “pensiun dini”. Di sisi lain, petani tidak perlu khawatir tentang kemampuan mereka untuk membayar pajak yang meningkat dengan cepat karena mereka dapat tinggal di tanah mereka sendiri. Lebih jauh lagi, dalam hal tanah komersial, sebagian besar tanah tersebut telah dimiliki dan disewakan secara terus menerus oleh komunitas politik atau utilitas pemerintah. Dengan demikian, sebagian besar penduduk dapat memperoleh manfaat secara langsung atau tidak langsung dari kenaikan nilai yang cepat dari perumahan dan setidaknya beberapa lahan komersial.

Pada saat yang sama, kedekatan geografis Selo dengan Magelang dan Boyolali telah menciptakan peluang unik untuk memiliki banyak pekerja yang melakukan perjalanan pulang pergi dari negara lain. Pemerintah Selo juga dapat membuat kebijakan agar mempersulit atau tidak memungkinkan bagi non-penduduk untuk mendapatkan tanah di wilayah Selo itu sendiri. Akibatnya, hanya sebagian kecil tanah di Selo yang saat ini dimiliki oleh orang asing dan spekulasi tanah oleh investor asing hampir tidak mungkin dilakukan. Nilai tanah yang dimiliki secara pribadi meningkat sebagai akibat dari investasi publik dalam infrastruktur, perubahan penggunaan lahan yang disetujui oleh publik, atau perubahan yang lebih luas di masyarakat seperti pertumbuhan penduduk. Pemerintah akan sukses untuk membanguninfrastruktur vital (jalan, transportasi umum, dan pasokan air) dan layanan publik. Bahkan, bisa saja membangun perlindungan dari ancaman lingkungan seperti longsor, gempa bumi, dan letusan gunung api.

Pajak atas nilai tanah yang belum dikembangkan akan mengurangi insentif untuk spekulasi atau kepemilikan tanah yang menganggur dan mendorong pemilik tanah untuk menggunakan tanah mereka secara produktif (Brunhart, A., dan Dumieński, Z, 2015) . Ketika lebih banyak lahan tersedia untuk digunakan, peluang ekonomi baru tercipta, harga tempat tinggal atau tempat kerja menjadi lebih murah, dan ruang digunakan secara lebih efisien. Penggunaan lahan yang lebih efisien tidak hanya bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan keterjangkauan perumahan, tetapi juga berpotensi menurunkan biaya infrastruktur publik secara signifikan dan secara signifikan mengurangi beban terhadap lingkungan alam.

Transportasi umum sangat diperlukan untuk membuat sebuah kota berkelanjutan. Namun, membangun jalur transportasi umum di Selo dengan lereng yang terjal memerlukan perencanaan dan teknik konstruksi yang hati-hati. Penelitian geologi dan geoteknik perlu dilakukan untuk identifikasi kondisi tanah, kemiringan lereng, potensi longsor, seera stabilitas lereng. Pemodelan lereng dapat membantu menentukan desain yang tepat. Salah satu penggunaan teknik yang tepat adalah terasering atau pemotongan lereng. Hal ini akan membantu mengurangi kemiringan lereng dan memberikan pijakan yang lebih stabil. Selain itu, tanggul penahan beton juga perlu dibangun di bawah lereng untuk menahan tanah dan menjaga stabilitas jalur transportasi. Desain switchback roads atau jalan dengan sistem zig-zag dapat digunakan untuk mengurangi kemiringan jalan. Desain ini membantu kendaraan mendaki secara bertahap dan mengurangi risiko kecelakaan. Drainase juga perlu diperhatikan untuk mencega erosi dan tanah longsor akibat akumulasi air. Hal ini membantu untuk mencegah erosi lereng. Selain itu, menurut prinsip kota hijau sendiri, penggunaan vegetasi juga dapat membantu mencegah erosi lereng di sekitar jalur transportasi untuk memperkuat lereng secara alami. Dengan begitu, transportasi umum seperti bus listrik atau maglev trains dapat difungsikan sehingga urbanisasi Selo dapat dilakukan dengan lancar. Selain itu, pedestrian dan jalur pesepeda juga dapat difungsikan.

Berfokus pada kota berkelanjutan yang merupakan kota ekologis berarti ada keseimbangan antara pembangunan dan pengembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Pembangunan kota yang salah satunya didukung oleh konsep hijau yang didukung oleh sistem jaringan ruang terbuka hijau yang terstruktur, hemat energi dengan polusi yang minim, serta dapat mengurangi pemanasan global dengan mengurangi bangunan dengan material kaca (Azis, S. U., dkk., 2019). Kecamatan Selo akan menjadi pusat pengembangan pemerintahan, pengembangan perdagangan dan jasa modern, pengembangan pariwisata, pelayanan jasa penunjang akomodasi pariwisata dan kawasan pendidikan, yang memiliki tujuan pengembangan berupa pusat pariwisata kota yang menarik, nyaman, dan ramah lingkungan.

Untuk mendukung prinsip kota berkelanjutan, maka Kecamatan Selo dapat menggunakan energi matahari sebagai pengganti energi lampu jalan. Selain itu, juga perlu mempertimbangkan bangunan yang memiliki pencahayaan dan ventilasi yang baik sehingga dapat mengarah pada penggunaan lampu di siang hari. Layanan umum juga perlu untuk membentuk fasilitas dan program yang membantu masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan. Pemeliharaan air juga perlu dilakukan agar proses urbanisasi dapat dilaksanakan. Lahan terbuka hijau di Selo sendiri cukup banyak yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai hutan kota seperti di daerah Taman Nasional Merbabu ataupun daerah semak belukar di wilayah utara Gunung Merapi. Tempat ekologis yang digunakan oleh Kecamatan Selo memberi banyak peluang agar proses urbanitas tetap berada di dalam koridor kota berkelanjutan.

Namun, tentu ada implikasi dari pembangunan daerah urban di Kecamatan Selo itu sendiri. Terjadinya perubahan spasial di daerah peri-urban, secara morfologis akan mengubah bentuk pemanfaatan lahan (Pratomo, R. A., dkk., 2021). Dalam teori Land Use Triangle: Continuum, Yunus (2008) menjelaskan bahwa secara kontinum semakin ke arah lahan kekotaan terbangun utama maka akan makin besar proporsi lahan kekotaan, sebaliknya jika makin jauh dari lahan terbangun utama maka akan makin besar proporsi kedesaannya. Oleh karena itu, peranan pemerintah perlu memperhatikan lebih lanjut agar proses yang terjadi dapat diminimalisisr nantinya.

Selo merupakan wilayah strategis di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, serta menjadi penghubung antara Magelang dan Boyolali. Hal ini mengakibatkan Kecamatan Selo memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi sebuah kota yang dinamis. Dengan keindahan alam dan budaya lokal yang masih kental, Selo dapat memanfaatkan sektor pariwisata sebagai penggerak ekonomi Selo itu sendiri. Namun, untuk mewujudkan revitalisasi ini, diperlukan penguatan infrastruktur, termasuk akses transportasi yang memadai, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal melalui pengembangan sektor-sektor hortikultura. Dengan perencanaan yang matang dan dukungan pemerintah serta masyarakat, Selo memiliki semua potensi untuk tumbuh menjadi kota yang berdaya saing, berkelanjutan, dan sejahtera.

 

Referensi:

Azis, S. U., Sari, K. E., & Nirvana, H. (2019, August). Mapping of potential green city attributes in Batu District, Batu City. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 314, No. 1, p. 012067). IOP Publishing.

Brunhart, A., & Dumieński, Z. (2015). Economic Development and Land Issues in Liechtenstein: Historical Dynamics, Current Challenges and Suggested Fiscal Remedies (No. 49). Liechtenstein-Institut.

Ervianto, W. I. (2018). Kajian Tentang Kota Berkelanjutan Di Indonesia (Studi Kasus Kota Yogyakarta). Jurnal Media Teknik Sipil, 16(1), 60.

Konsep kota: https://maps.app.goo.gl/BXiTeAPVvKm5WAZWA Liechtensein.

Pratomo, R. A., Ayuni, S. I., & Fitrianingsih, D. (2021). Implikasi Pembangunan Kota Baru Terhadap Perubahan Fisik Kawasan Dan Sosial-Ekonomi Masyarakat Lokal: Studi Kasus Pembangunan Kota Harapan Indah, Bekasi. Jurnal Pengembangan Kota, 9(2), 204-214.

Yunus, H.S. (2015). Manajemen kota perspektif spasial. Pustaka Pelajar.

Dibuat oleh: Darvpa Nusantara Yogya (Pemenang Kompetisi Artikel SONAR 8.0)
Program Studi: Kartografi dan Penginderaan Jauh Angkatan 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.